PENDAHULUAN
Dalam kehidupannya di dunia, manusia selalu mencari kebenaran. Karena, dengan
menemukan kebenaran tersebut, manusia akan mendapatkan ketenangan dalam
dirinya. Dalam pencarian kebenaran itu manusia menggunakan berbagai cara yang
setiap individunya berbeda.
Kebenaran menurut tiap individu dapat berbeda-beda, tergantung sudut
pandang dan metode yang digunakan oleh individu tersebut. Manusia sebagai
makhluk pencari kebenaran dalam perenungannya akan menemukan tiga bentuk
eksistensi, yaitu agama, ilmu pengetahuan, dan filsafat. Agama mengantarkan
dalam kebenaran, dan filsafat membuka jalan untuk mencari kebenaran.[1]
Dalam ilmu pengetahuan, kebenaran diperoleh dengan cara metode ilmiah.
Untuk menemukan dan merumuskan sebuah teori atau rumus, harus sampai pada
kebenaran yang benar-benar valid. Nah, yang menjadi permasalahan adalah bahwa
dalam menemukan kebenaran tersebut ada perbedaan dari setiap individu baik cara
maupun metode yang digunakan. Sehingga muncul sebuah perbedaan pula mengenai
kriteria kebenaran.
Filsafat dipahami sebagai suatu kemampuan berfikir mengguakan rasio dalam
menyelidiki suatu objek atau mencari kebenaran yang ada dalam objek yang menjadi
sasaran. Kebenaran itu sendiri belum pasti melekat dalam objek. Terkadang hanya
dapat dibenarkan oleh persepsi-persepsi belaka, tanpa mempertimbangkan
nilai-nilai universal dalam filsafat.[2]
Dalam makalah ini, penulis akan memaparkan sedikit mengenai teori-teori
kebenaran dalam ilmu pengetahuan dan bagaiman teori-teori kebenaran ilmiyah itu
berbicara.
PEMBAHASAN
TEORI –
TEORI KEBENARAN
1. Teori Kebenaran Korespondensi
Kebenaran
korespondesi adalah kebenaran yang bertumpu pada relitas objektif.[3]
Kesahihan korespondensi itu memiliki pertalian yang erat dengan kebenaran dan
kepastian indrawi. Sesuatu dianggap benar apabila yang diungkapkan (pendapat,
kejadian, informasi) sesuai dengan fakta (kesan, ide-ide) di lapangan.[4]
Contohnya:
ada seseorang yang mengatakan bahwa Provinsi Yogyakarta itu berada di Pulau
Jawa. Pernyataan itu benar karena sesuai dengan kenyataan atau realita yang
ada. Tidak mungkin Provinsi Yogyakarta di Pulau Kalimantan atau bahkan Papua.
Cara berfikir ilmiah
yaitu logika induktif menggunakan teori korespodensi ini. Teori kebenaran
menurut corespondensi ini sudah ada di dalam masyarakat sehingga pendidikan
moral bagi anak-anak ialah pemahaman atas pengertian-pengertian moral yang
telah merupakan kebenaran itu. Apa yang diajarkan oleh nilai-nilai moral ini
harus diartikan sebagai dasar bagi tindakan-tindakan anak di dalam tingkah
lakunya.[5]
2. Teori Kebenaran Koherensi
Teori ini disebut juga dengan konsistensi, karena mendasarkan diri pada
kriteria konsistensi suatu argumentasi. Makin konsisten suatu ide atau
pernyataan yang dikemukakan beberapa subjuk maka semakin benarlah ide atau
pernyataan tersebut. Paham koherensi tentang kebenaran biasanya dianut oleh
para pendukung idealisme, seperti filusuf Britania F. H. Bradley (1846-1924).[6]
Teori ini menyatakan bahwa suatu proposisi (pernyataan suatu pengetahuan,
pendapat kejadian, atau informasi) akan diakui sahih atau dianggap benar
apabila memiliki hubungan dengan gagasan-gagasan dari proporsi sebelumnya yang
juga sahih dan dapat dibuktikan secara logis sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan
logika.[7]
Sederhannya, pernyataan itu dianggap benar jika sesuai (koheren/konsisten)
dengan pernyataan sebelumnya yang dianggap benar. Contohnya:
- Setiap manusia pasti akan mati. Soleh adalah seorang manusia. Jadi, Soleh pasti akan mati.
- Seluruh mahasiswa PAI, Fakultas Tarbiyah dan keguruan UIN Jogja mengikuti perkuliahan Filsafat Ilmu. Edy adalah mahasiswa PAI, Fakultas Tarbiyah dan keguruan UIN Jogja. Jadi, Edy harus mengikuti kegiatan perkuliahan Filsafat ilmu.
3. Teori Kebenaran Pragmatik/Pragmatisme
Artinya, suatu pernyataan itu benar jika pernyataan itu atau konsekuensi
dari pernyataan itu mempunyai kegunaan praktis dalam kehidupan manusia.[8]
Teori pragmatis ini pertama kali dicetuskan oleh Charles S. Peirce (1839-1914)
dalam sebuah makalah yang terbit pada tahun 1878 yang berjudul “How to Make
Our Ideas Clear”.[9]
Dari pengertian diatas, teori ini (teori Pragmatik) berbeda dengan teori
koherensi dan korespondensi. Jika keduanya berhubungan dengan realita objektif,
sedangkan pragmamtik berusaha menguji kebenaran suatu pernyataan dengan cara
menguji melalui konsekuensi praktik dan pelaksanaannya.
Pegangan pragmatis adalah logika pengamatan. Aliran ini bersedia menerima
pengalaman pribadi, kebenaran mistis, yang terpenting dari semua itu membawa
akibat praktis yang bermanfaat.[10]
4. Teori Kebenaran Performatik
Teori
ini menyatakan bahwa kebenaran diputuskan atau dikemukakan oleh pemegang otoritas
tertentu. Pemegang otoritas yang menjadi rujukan bisa pemerintah, pemimpin
agama, pemimpin adat, pemimpin masyarakat, dan sebagainya. Kebenaran
performatif dapat membawa kepada kehidupan sosial yang rukun, kehidupan
beragama yang tertib, adat yang stabil dan sebagainya. Namun,
dismping itu juga masyarakat
yang mengikuti kebenaran performatif tidak terbiasa berpikir kritis dan
rasional. Mereka kurang inisiatif dan inovatif, karena terbiasa mengikuti
kebenaran dari pemegang otoritas.[11]
Contohnya; mengenai penetapan 1 Syawal.
Sebagian umat muslim di Indonesia mengikuti fatwa atau
keputusan MUI atau pemerintah, sedangkan sebagian yang lain mengikuti fatwa
ulama tertentu atau organisasi tertentu.
5. Teori Kebenaran Struktural Pardigmatik
Suatu
teori itu dinyatakan benar jika teori itu berdasarkan pada paradigma atau
perspektif tertentu dan ada komunitas ilmuwan yang mengakui atau mendukung
paradigma tersebut. Paradigma
ialah apa yang dimiliki bersama oleh anggota-anggota suatu masyarakat sains
atau dengan kata lain masyarakat sains adalah orang-orang yang memiliki suatu
paradigma bersama. Masyarakat sains bisa mencapai konsensus yang kokoh karena
adanya paradigma.[12]
Dengan
kekuatan paradigma dan masyarakat sains pendukungnya, diharapkan kebenaran
struktural paradigmatik dapat menjawab berbagai problema kehidupan manusia di
masa depan. Krisis
global berupa krisis lingkungan dan krisis kemanusiaan yang selama ini telah
dialami oleh manusia karena Sains Modern, cepat atau lambat akan dijawab oleh
konsensus baru dengan paradigma yang menghasilkan metode yang lebih tepat dalam
mengantisipasi krisis global tersebut. [13]
KESIMPULAN
Dari
pembahasan di depan, dapat disimpulkan bahwa dalam menemukan kebenaran manusia
berbeda-beda dalam metode dan cara berfikirnya, sehingga muncullah teori-teori
kebenaran yang bermacam-macam. Kebenaran ilmiah ada lima teori, yaitu teori
korespondensi, koherensi/konsistensi, pragmatik, performatik, dan struktural
paradigmatik. Namun, dalam referensi lain, penulis menemukan teori-teori
kebenaran lain. Hanya saja yang menjadi pokok bahasan dalam mata kuliah
filsafat ilmu hanya kelima teori ini.
Kelima macam teori kebenaran
di atas adalah berbagai cara manusia memperoleh kebenaran yang sifatnya relatif
atau nisbi. Kebenaran absolut atau kebenaran mutlak berasal dari Tuhan yang
disampaikan kepada manusia melalui wahyu. Alam dan kehidupan merupakan sumber
kebenaran yang tersirat dari tuhan untuk dipelajari dan diobservasi guna
kebaikan umat manusia.
Diakhir, penulis menyadari bahwa
dalam penyusunan makalah ini masih banyak kekurangan, sehingga penulis sangad
mengharapkan kritikan-kritikan yang membangun dari para pembaca. Terima
kasih......
DAFTAR PUSTAKA
Adib, Muhammad. “FILSAFAT ILMU: Ontologi,
Epistimologi, Aksiologi, dan Logika Ilmu Pengetahuan”. Yogyakarta: Puataka
Pelajar. 2010
Ahmad, Beni Saebani. “FILSAFAT ILMU: Kontemplasi
Filosofis tentang Seluk-beluk Sumber dan Tujuan Ilmu Pengetahuan”. Bandung:
Pustaka Setia, 2009
Kattsoff, Louis O. “Pengantar Filsafat”.
Yogyakarta: Tiara Wacana. 2004
Suriasumantri, Jujun S. “FILSAFAT ILMU: Sebuah
Pengantar Populer”. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2007
[1] Drs. H. Moh. Adib. “Filsafat Ilmu: Ontologi,
Epistimologi, Aksiologi, dan logika ilmu pengetahuan”. hal: 117
[3] Drs. Beni Ahmad Saebani.
“Filsafat Ilmu: Kontemplasi filosofis tentang seluk beluk sumber dan tujuan
ilmu pengetahuan”. hal: 7
[4] Drs. H. Moh. Adib. “Filsafat Ilmu: Ontologi, Epistimologi, Aksiologi,
dan logika ilmu pengetahuan”. hal:122
[7] Drs. H. Moh. Adib. “Filsafat
Ilmu: Ontologi, Epistimologi, Aksiologi, dan logika ilmu pengetahuan”. hal:121
[10] Drs. Beni Ahmad Saebani.
“Filsafat Ilmu: Kontemplasi filosofis tentang seluk beluk sumber dan tujuan
ilmu pengetahuan”. hal: 7