BAB I
PENDAHULUAN
A.
Rasional
Manusia merupakan makhluk ciptaan Alloh yang paling sempurna,
karena manusia dibekali dengan berbagai kelebihan dibanding dengan makhluk
lain, yaitu nafsu (sifat dasar iblis), taat/patuh/tunduk (sifat dasar malaikat)
dan akal (sifat keistimewaan manusia). Ketiga hal tersebut membuat manusia
memiliki kedudukan yang tinggi di hadapan-Nya, jika manusia dapat mengatur
ketiganya dan dapat memposisikan diri sebagaimana yang dititahkan oleh sang
Robb.
Dalam Al qur’an surat Az-Zariyat (51) ayat 56, Alloh swt telah
berfiman yang artinya kurang lebih demikian; “Aku (Alloh swt) tidak menciptakan
jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku”. Dari tafsir
tersebut terlihat jelas bahwa jin dan manusia diciptakan untuk beribadah kepada
Alloh swt. Namun, banyak dari golongan manusia yang tidak dapat melakukan
sebagaimana yang diharapkan oleh sang pencipta (Alloh SWT), malah manusia
berbuat sebaliknya dan mengingkari apa yang telah dikaruniakan. Itu karena
manusia belum memahami betul hakikat dirinya diciptakan dan diturunkan dibumi
dilihat dari segi agama islam.
Dengan adanya akal, membuat manusia selalu ingin tahu tentang
apapun. Untuk memenuhi rasa ingin tahu itu manusia menggunakan jalur
pendidikan. Melalui pendidikan manusia memperoleh berbagai ilmu baru dan dapat
mengembangkan ilmu tersebut.
Filsafat merupakan cabang ilmu pengetahuan yang selalu menggunakan
pemikiran mendalam, luas, radikal (sampai keakar-akarnya), dan berpegang pada
kebijakansanaan dalam melihat suatu problem. Dengan kata lain, filsafat
selalu mencoba mencari hakikat atau maksud dibalik adanya sesuatu tersebut.
Dalam makalah ini, penulis mencoba membahas sedikit tentang hakekat
manusia dilihat dari segi filsafat (menyeluruh). Sebenarnya untuk apa manusia
hidup, bagaiman ia harus hidup, dll. Yang nantinya, dengan melihat hakekat
manusia tersebut, apa kaitanya dengan proses pendidikan.
Mengingat manusia merupakan makhluk yang istimewa dan tidak akan pernah
cukup membahas tentang manusia yang luas hanya dengan satu makalah, maka
penulis sangat mengharap saran dan kritikan yang membangun dari peserta ketika
nanti dalam makalah ini terdapat banyak kesalahan (bauk pernyataan maupun
penulisan) atau masih ada yang belum lengkap (kurang).
B.
Rumusan Masalah
1.
Apa
pengertian filsafat?
2.
Bagaimana
hakekat manusia dilihat dari sudut pandang filsafat?
3.
Bagaimana
kaitan antara filsafat, pendidikan dan manusia?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Filsafat
Sebelum lebih jauh membahas tentang hakekat manusia dalam pandangan filsafat, izinkan penulis sedikit memaparkan tentang pengertian
filsafat itu sendiri terlebih dahulu. Secara
etimologis, filsafat berakar dari bahasa
Yunani yaitu phillein
yang berarti cinta, dan shopia yang berarti kebijaksanaan. Jadi
filsafat adalah “cinta kebijaksanaan”. Kemudian dari pendekatan etimologis
tersebut, dapat disimpulkan bahwa filsafat berarti pengetahuan mengenai
pengetahuan, akar dari pengetahuan atau pengetahuan yang terdalam.[1]
Secara terminologis, banyak sekali pendapat-pendapat yang berkenaan dengan pengertian filsafat. Tidak ada
pengertian yang secara pasti, tetapi berikut beberapa pengertian yang penulis
dapat dari beberapa sumber.
Filsafat
adalah ilmu pengetahuan yang amat luas (komprehensif) yang berusaha untuk
memahami persoalan-persoalan yang timbul didalam keseluruhan ruang lingkup
pengalaman manusia.[2]
Filsafat adalah ilmu yang mempelajari dengan sungguh-sungguh
tentang hakekat kebenaran sesuatu.[3]
Filsafat
adalah daya upaya manusia dengan akal budinya untuk memahami, mendalami dan
menyelami secara radikal, dan integral serta sistematik mengenai ketuhanan,
alam semesta dan manusia sehingga dapat menghasilkan pengetahuan tentang
bagaimana hakekatnya yang dapat dicapai akal manusia dan bagaimana sikap
manusia seharusnya setelah mencapai pengetahua tersebut.[4]
B.
Hakekat Manusia dalam Pandangan Filsafat
Sabagaimana telah sedikit di utarakan di awal tadi, manusia
merupakan makhluk yang sangat unik. Upaya
pemahaman hakekat manusia sudah dilakukan
sejak dahulu. Namun, hingga saat ini belum
mendapat pernyataan yang benar-benar tepat
dan pas, dikarenakan manusia itu sendiri yang memang unik, antara manusia
satu dengan manusia lain berbeda-beda. Bahkan orang kembar identik sekalipun,
mereka pasti memiliki perbedaaan. Mulai dari fisik, ideologi, pemahaman,
kepentingan dll. Semua itu menyebabkan suatu pernyataan belum tentu pas untuk
di amini oleh sebagian orang.
Para ahli pikir dan ahli filsafat memberikan sbuten kepada manusia
sesuai dengan kemampuan yang dapat dilakukan manusia di bumi ini;[5]
a.
Manusia
adalah Homo Sapiens, artinya makhluk yang mempunyai budi,
b.
Manusia
adalah Animal Rational, artinya binatang yang berpikir,
c.
Manusia
adalah Homo Laquen, artinya makhluk yang pandai menciptakan bahasa dan
menjelmakan pikiran manusia dan perasaan dalam kata-kata yang tersusun,
d.
Manusia
adalah Homo Faber, artinya makhluk yang terampil. Dia pandai membuat
perkakas atau disebut juga Toolmaking Animal yaitu binatang yang pandai
membuat alat,
e.
Manusia
adalah Zoon Politicon, yaitu makhluk yang pandai bekerjasama, bergaul
dengan orang lain dan mengorganisasi diri untuk memenuhi kebutuhan hidupnya,
f.
Manusia
adalah Homo Economicus, artinya makhluk yang tunduk pada prinsip-prinsip
ekonomi dan bersifat ekonomis,
g.
Manusia
adalah Homo Religious, yaitu makhluk yang beragama. Dr. M. J. Langeveld
seorang tokoh pendidikan bangsa Belanda, memandang manusia sebagai Animal
Educadum dan Animal Educable, yaitu manusia adalah makhluk yang
harus dididik dan dapat dididik. Oleh karena itu, unsur rohaniah merupakan
syarat mutlak terlaksananya program-program pendidikan.
Penulis akan mencoba memaparkan apa sebenarnya hakekat manusia yang
dirangkum dari beberapa sumber bacaan. Ilmu yang
mempelajari tentang hakekat manusia disebut Antropologi Filsafat.[6] Berikut pembahasan mengenai manusia:
1.
Masalah Rohani dan Jasmani
Setidaknya terdapat empat aliran pemikiran yang berkaitan tentang
masalah rohani dan jasmani (sudut pandang unsur pembentuk manusia) yaitu:
Aliran serba zat, aliran serba ruh, aliran dualisme, dan aliran
aksistensialisme.
a.
Aliran
Serba zat (Faham Materialisme)
Aliran serba zat ini mengatakan yang sungguh-sunguh ada itu adalah
zat atau materi, alam ini adalah zat atau materi dan manusia adalah unsur dari
alam, maka dari itu manusia adalah zat atau materi.[7]
Manusia ialah apa yang nampak sebagai wujudnya, terdiri atas zat (darah,
daging, tulang).[8]
Jadi, aliran ini lebih berpemahaman bahwa esensi manusia adalah
lebih kepada zat atau materinya. Manusia bergerak menggunakan organ, makan
dengan tangan, berjalan dengan kaki, dll. Semua serba zat atau meteri. Berdasar
aliran ini, maka dalam pendidikan manusia harus melalui proses mengalami atau pratek
(psikomotor).
b.
Aliran
Serba Ruh
Dalam buku lain, aliran ini diberi nama Aliran Idealisme.
Aliran ini berpendapat bahwa segala hakikat sesuatu yang ada di dunia ini
adalah ruh, juga hakekat manusia adalah ruh.[9]
Ruh disini bisa diartikan juga sebagai jiwa, mental, juga rasio/akal. Karena
itu, jasmani atau tubuh (materi, zat) merupakan alat jiwa untuk melaksanakan
tujuan, keinginan dan dorongan jiwa (rohani, spirit, ratio) manusia.[10]
Jadi, aliran ini beranggapan bahwa yang menggerakkan tubuh itu
adalah ruh atau jiwa. Tanpa ruh atau jiwa maka jasmani, raga atau fisik manusia
akan mati, sia-sia dan tidak berdaya sama sekali. Dalam pendidikan, maka tidak
hanya aspek pengalaman saja yang diutamakan, faktor dalam seperti potensi
bawaan (intelegensi, rasio, kemauan dan perasaan) memerlukan perhatian juga.
c.
Aliran
Dualisme
Aliran ini menganggap bahwa manusia itu pada hakekatnya terdiri
dari dua substansi, yaitu jasmani dan rohani.[11]
Aliran ini melihat realita semesta sebagai sintesa kedua kategori animate dan
inanimate, makhluk hidup dan benda mati. Demikian pula manusia merupakan
kesatuan rohani dan jasmani, jiwa dan raga.[12]
Misalnya ada persoalan: dimana letaknya mind (jiwa, rasio) dalam
pribadi manusia. Mungkin jawaban umum akan menyatakan bahwa ratio itu terletak
pada otak. Akan tetapi akan timbul
problem, bagaiman mungkin suatu immaterial entity (sesuatu yang non-meterial)
yang tiada membutuhkan ruang, dapat ditempatkan pada suatu materi (tubuh jasmani)
yang berada pada ruang wadah tertentu.[13]
Jadi, aliran ini meyakini bahwa sesungguhnya manusia tidak dapat
dipisahkan antara zat/raga dan ruh/jiwa. Karena pada hakekatnya keduanya tidak
dapat dipisahkan. Masing-masing memiliki peranan yang sama-sama sangat vital.
Jiwa tanpa ruh ia akan mati, ruh tanpa jiwa ia tidak dapat berbuat apa-apa.
Dalam pendidikan pun, harus memaksimalkan kedua unsur ini, tidak hanya salah
satu saja karena keduanya sangat penting.
d.
Aliran
Eksistensialisme
Aliran filsafat modern berpikir tentang hakekat manusia merupakan
eksistensi atau perwujudan sesungguhnya dari manusia. Jadi intinya hakikat
manusia itu yaitu apa yang menguasai manusia secara menyeluruh. Disini manusia
dipandang dari serba zat, serba ruh atau dualisme dari kedua aliran itu, tetapi
memandangnya dari segi eksistensi manusia itu sendiri di dunia.[14]
2.
Sudut Pandang Antropologi
Dari segi antropologi terdapat tiga sudut pandang hakekat manusia,
yaitu manusia sebagai makhluk individu, makhluk sosial dan makhluk susila. Berikut
penjelasan dari ketiganya:
a.
Manusia
Sebagai Makhluk Individu (Individual Being)
Dalam bahasa filsafat dinyatakan self-existence adalah sumber
pengertian manusia akan segala sesuatu. Self-existence ini mencakup pengertian
yang amat luas, terutama meliputi: kesadaran adanya diri diantara semua relita,
self-respect, self-narcisme, egoisme, martabat kepribadian, perbedaan dan
persamaan dengan pribadi lain, khususnya kesadaran akan potensi-potensi pribadi
yang menjadi dasar bagi self-realisasi. Manusia sabagai individu memiliki hak
asasi sebagai kodrat alami atau sebagi anugrah Tuhan kepadanya. Hak asasi
manusia sebagai pribadi itu terutama hak hidup, hak kemerdekaan dan hak milik.[15]
Disadari atau tidak menusia sering memperlihatkan dirinya sebagai
makhluk individu, seperti ketika mereka memaksakan kehendaknya (egoisme),
memecahkan masalahnya sendiri, percaya diri, dll. Menjadi seorang individu
manusia mempunyai ciri khasnya masing-masing. Antara manusia satu dengan yang
lain berbeda-beda, bahkan orang yang kembar sekalipun, karena tidak ada manusia
di dunia ini yang benar-benar sama persis. Fisik boleh sama, tetapi kepribadian
tidak.
Jadi dalam pendidikan seorang guru sangat perlu memahami hakekat
manusia sebagai individu. Itu kaitanya dengan menghargai perbedaan dalam setiap
anak didiknya, agar sang guru tidak semena-mena dan memaksakan kehendaknya
(diskriminasi) kepada peserta didik. Perbedaan itu bisa berupa fisik,
intelejensi, sikap, kepribadian, agama, dll.
b.
Manusia
Sebagai Makhluk Sosial (Sosial Being)
Telah kita ketahui bersama bahwa manusia tidak dapat hidup sendirian,
manusia membutuhkan manusia lain agar bisa tetap exsis dalam menjalani kehidupan
ini, itu sebabnya manusia juga dikenal dengan istilah makhluk sosial.
Keberadaanya tergantung oleh manusia lain.
Esensi manusia sebagai makhluk sosial ialah adanya kesadaran
manusia tentang status dan posisi dirinya dalam kehidupan bersama dan bagaimana
tanggung jawab dan kewajibannya di dalam kebersamaan itu. Adanya kesadaran
interdependensi dan saling membutuhkan serta dorongan-dorongan untuk mengabdi
sesamanya adalah asas sosialitas itu. Kehidupan individu di dalam antar
hubungan sosial memang tidak usah kehilangan identitasnya. Sebab, kehidupan
sosial adalah realita sama rielnya dengan kehidupan individu itu sendiri.
Individualitas itu dalam perkembangan selanjutnya akan mencapai kesadaran
sosialitas. Tiap manusia akan sadar akan kebutuhan hidup bersama segera setelah
masa kanak-kanak yang egosentris berakhir.[16]
Seorang guru dalam kegiatan pembelajaran perlu menanamkan kerjasama
kepada peserta didiknya, agar kesadaran sosial itu dapat tumbuh dan berkembang
dengan baik. Hal tersebut dapat dicapai dengan penerapan strategi dan metode
yang tepat, juga dengan pemberian motivasi tentang kebersamaan.
c.
Manusia
Sebagai Makhluk Susila (Moral Being)
Asas pandangan bahwa manusia sebagai makhluk susila bersumber pada
kepercayaan bahwa budi nurani manusia secara apriori adalah sadar nilai dan
pengabdi norma-norma. Kesadaran susila (sense of morality) tak dapat dipisahkan
dengan realitas sosial, sebab, justru adanya nilai-nilai, efektivitas
nilai-nilai, berfungsinya nilai-nilai hanyalah di dalam kehidupan sosial.
Artinya, kesusilaan atau moralitas adalah fungsi sosial. Asas kesadaran nilai,
asas moralitas adalah dasar fundamental yanng membedakan manusia dari pada
hidup makhluk-makhluk alamiah yang lain. Rasio dan budi nurani menjadi dasar
adanya kesadaran moral itu.[17]
Ketiga esensi diatas merupakan satu kesatuan yang tidak terlepaskan
dari diri manusia, tinggal ia sadar atau tidak. Beberapa individu mempunyai
kecenderungan terhadap salah satu esensi itu. Ada yang cenderung esensi pertama
yang lebih menonjol, ada yang kedua dan ada yang ketiga. Semua tergantung
pemahaman dan pendidikan yang dialami oleh si individu tersebut. Fungsi
pendidikan adalah mengembangkan ketiganya secara seimbang. Agar manusia dapat
menempatkan diri sesuai situasi dan kondisi yang sedang dialami. Sesuatu yang
berlebihan atau malah kurang itu tidak baik, jadi yang terbaik itu adalah
seimbang.
3.
Pandangan Freud tentang Struktur Jiwa (Kepribadian)[18]
Menurut Freud (ahli ilmu jiwa), struktur jiwa (kepribadian)
terbentuk oleh tiga tingkatan atau lapisan, yaitu bagian dasar (das Es), bagian
tengah (das Ich) dan bagian atas (das Uber ich).
a.
Bagian
Dasar atau das Es (the Id)
Bagian ini
merupakan bagian paling dasar yaitu berkenaan dengan hasrat-hasrat atau sumber
nafsu kehidupan. Semua tuntutan das Es semata-mata demi kepuasan, tanpa
memperhatikan nilai baik-buruk. das Es ini merupakan prototype dari
sifat individualistis manusia, egoistis, a-sosial bahkan a-moral. Dan ketika
manusia semata-mata mengikuti dorongan das Es yang demikian tadi, maka
sesungguhnya manusia tidak ada bedanya dengan makhluk alamiah lain.
b. Bagian Tengah atau das Ich (aku)
Bagian ini
terletak ditengah antara das Es dan das Uber Ich. Menjadi penengah antara
kepentingan das Es dan tujuan-tujuan das Uber Ich. Das Ich ini bersifat
objektif dan realistis, sehingga pribadi seseorang dapat berjalan dengan
seimbang dan harmonis. Sesuai letaknya, das Ich ini lebih sadar norma dibanding
das Es. Kesadaran das Ich yang bersifat ke-aku-an ini lebih bersifat social,
sehingga das Ich dapat disamakan sebagai aspek social kepribadian manusia.
c. Bagian Atas atau das Uber Ich (superego)
Bagian jiwa
yang paling tinggi, sifatnya paling sadar norma, paling luhur. Bagian ini yang
paling lazim disamakan dengan budi nurani. Setiap motif, cita-cita dan tindakan
das Uber Ich selalu didasarkan pada asas-asas normative. Superego ini selalu
menjunjung tinggi nilai-nilai, baik nilai etika maupun nilai religious. Dengan
demikian, superego adalah bagian jiwa yang palling sadar terhadap makna
kebudayaan, membudaya dalam arti terutama sadar nilai moral, watak superego
ialah susila.
4.
Sudut Pandang Asal-Mula dan Tujuan Hidup Manusia
Segala sesuatu yang ada dalam kehidupan ini pasti mempunyai asal-usul
dan tujuan keberadaanya, begitu juga manusia. Asala mula dan tujuan hidup
manusia merupakan merupakan substansi yanng sulit dijelaskan. Karena akal
manusia sangat terbatas untuk mencapai pada substansi tersebut.
Pikiran manusia tidak pernah mampu menjelaskan secara terperinci
tentang substansi asal-mula tersebut. Mekipun demikian, pikiran manusia dapat
dipastikan mampu secara logis menyimpilkan dan menilai bahwa hakekat asal mula
itu hanya ada satu, bersifat universal, dan berada di dunia metafisis, karena
itu bersifat absolut dan tidak mengalami perubahan serta sebagai sumber dari
segala sumber yang ada.[19]
Ketika manusia menyadari bahwa asal mula dan tujuan hidup hanya
satu, bersifat universal dan berada di dunia metafisis, maka pernyataan itu
merujuk pada keberadaan Tuhan. Dalam agama islam, manusia meyakini bahwa ia
berasal dari Alloh SWT dan nantinya akan kembali kepada-Nya juga.
Akal pikiran manusia dapat memastikan bahwa kehidupan ini berawal
dari causa prima (Tuhan) dan pada akhirnya kembali kepada causa prima
(Tuhan) pula.[20]
Jadi, jika demikian adanya maka dalam islam setidaknya manusia
mempunyai beberapa tujuan. Tujuan manusia hidup manusia paling sedikit ada
empat macam; beribadah, menjadi khalifah Alloh di muka bumi (yang baik dan
sukses tentunya), memperoleh kesuksesan (kebaikan, kebahagiaan dan
keberuntungan) di dunia dan di akhirat, dan mendapat ridho Alloh.[21]
C.
Hubungan Antara Filsafat, Pendidikan dan Manusia
Dari
pemaparan diatas, ternyata menusia benar-benar merupakan makhluk yang unik.
Manusia memiliki berbagai dimensi dasar, baik secara pribadi, jiwa, kelompok,
dll. Semua itu bercampur aduk menjadi potensi dasar atau bawaan manusia, sehingga disadari atau tidak, manusia telah mengembangkan
potensi tersebut, baik secara maximal atau tidak, dengan baik atau buruk. Semuanya tergantung manusia itu sendiri dan lingkungan yang mempengaruhinya.
Kaitanya
dengan hal tersebut, dengan akal manusia yang bisa dikatakan jenius, manusia dapat
menemukan jalan untuk mengembangkan potensi-potensi mereka dengan baik. Yaitu dengan pendidikan. Manusia mulai
sadar akan arti penting pendidikan bagi kehidupan mereka.
Dalam sub
bab ini, penulis mencoba mencari keterkaitan antara pendidikan dengan manusia.
Atau, apakah arti penting pemahaman tentang hakekat manusia tadi terhadap proses
pendidikan.
Pendidikan
adalah usaha sadar, terencana, sistematis dan berkelanjutan untuk mengembangkan potensi-potensi bawaan manusia, memberi sifat
dan kecakapan, sesuai dengan tujuan
pendidikan.[22]
Pendidikan adalah bagian dari suatu proses yang diharapkan untuk
mencapai suatu tujuan.[23]
Melihat pengertian diatas, dapat disimpulkan bahwa hubungan
pendidikan dengan manusia itu sangat erat. Adanya pendidikan untuk
mengembangkan potensi manusia, menuju manusia yang lebih baik, dan dapat
mengemban tugas dari Alloh swt.
Berbicara tentang pendidikan, berarti membicarakan tentang hidup
dan kehidupan manusia. Sebaliknya, berbicara tentang kehidupan manusia berarti
harus mempersoalkan masalah kependidikan.[24]
Jadi, antara manusia dan pendidikan terjalin hubungan kausalitas. Karena
manusia, pendidikan mutlak ada; dan karena pendidikan, manusia semakin menjadi
diri sendiri sebagai manusia yang manusiawi.[25]
Manusia merupakan subyek pendidikan, tetapi juga sekaligus menjadi
objek pendidikan itu sendiri. Pedagogik tanpa ilmu jiwa, sama dengan praktek
tanpa teori. Pendidikan tanpa mengerti manusia, berarti membina sesuatu tanpa
mengerti untuk apa, bagaimana, dan mengapa manusia dididik. Tanpa mengerti atas
manusia, baik sifat-sifat individualitasnya yang unik, maupun potensi-potensi
yang justru akan dibina, pendidikan akan salah arah. Bahkan tanpa pengertian
yang baik, pendidikan akan memperkosa kodrat manusia.[26]
Esensia kepribadian manusia, yang tersimpul dalam aspek-aspek:
individualitas, sosialitas dan moralitas hanya mungkin menjadi relita (tingkah
laku, sikap) melalui pendidikan yang diarahkan kepada masing-masing esensia
itu. Harga diri, kepercayaan pada diri sendiri (self-respect, self-reliance,
self confidence) rasa tanggung jawab, dan sebagainya juga akan tumbuh dalam
kepribadian manusia melalui proses pendidikan.[27]
Jadi, hubungan antara filsafat, pendidikan dan manusia secara
singkat adalah sebagai berikut; filsafat digunakan untuk mencari hakekat
manusia, sehingga diketahui apa saja yang ada dalam diri manusia. Hasil kajian
dalam filsafat tersebut oleh pendidikan dikembangkan dan dijadikannya (potensi)
nyata berdasarkan esensi keberadaan manusia. Sehingga dihasilkan manusia yang
sejati, yang utuh sebagaimana dititahkan oleh Alloh SWT.
BAB III
KESIMPULAN
Dari
pembahasan di atas, maka dapat penulis simpulkan sebagai berikut; filsafat berakar
dari bahasa Yunani yaitu phillein yang berarti cinta, dan shopia
yang berarti kebijaksanaan. Jadi filsafat adalah “cinta kebijaksanaan”.` Filsafat
adalah ilmu yang mempelajari dengan sungguh-sungguh tentang hakekat kebenaran
sesuatu.
Dalam filsafat, pemahaman manusia dilihat dari berbagai sudut
pandang, yaitu: pertama, masalah rohani dan jasmani; Aliran Serba
zat (Faham Materialisme), Aliran Serba Ruh, Aliran Dualisme, dan Aliran
Eksistensialisme. Kedua, sudut pandang antropologi; manusia
sebagai makhluk individu (individual being), manusia sebagai makhluk sosial
(sosial being) dan manusia sebagai makhluk susila (moral being). Ketiga,
pandangan Freud tentang struktur jiwa (kepribadian); bagian dasar atau
das Es (the Id), bagian tengah atau das Ich (aku) dan bagian atas atau das Uber Ich (superego). Keempat, sudut pandang asal-mula dan tujuan hidup
manusia ; kehidupan ini berawal dari causa prima (Tuhan) dan pada
akhirnya kembali kepada causa prima (Tuhan) pula.
Hubungan antara manusia, filsafat dan pendidikan terletak pada;
filsafat digunakan untuk mencari hakekat manusia, sehingga diketahui apa saja
yang ada dalam diri manusia. Hasil kajian dalam filsafat tersebut oleh
pendidikan dikembangkan dan dijadikannya (potensi) nyata berdasarkan esensi
keberadaan manusia.
Demikian pemaparan penulis mengenai hakekat manusia dalam pandangan
filsafat. Terima kasih,....
DAFTAR BACAAN
Asifudin, Ahmad
Janan. 2009. Mengungkit Pilar-pilar Pendidikan Islam (Tinjauann Filosofis). Yogyakarta:
Suka Press
Ihsan, Hamdani dan
Fuad Ihsan. 2007. Filsafat Pendidikan Islam. Bandung: Pustaka setia
Jalaludin dan Abdulloh.
1997. Filsafat Pendidikan. Jakarta: Gaya Media Pratama
Noor Syam,
Mohammad. 1988 cet.4. Filsafat Pendidikan dan Dasar Filsafat Pendidikan
Pancasila. Surabaya: Usaha Nasional
Suhartono, Suparlan. 2007. Filsafat Pendidikan. Yogyakarta: Ar-ruzz Media
[1] Suparlan Suhartono, “Filsafat
Pendidikan”, (Yogyakarta: Ar-ruzz Media, 2007), hal. 37-38
[2]
Jalaludin dan Abdulloh, “Filsafat Pendidikan”, (Jakarta: Gaya Media
Pratama, 1997), hal. 11
[3] Hamdani
Ihsan dan Fuad Ihsan, “Filsafat Pendidikan Islam”, (Bandung: Pustaka
setia, 2007), hal.9
[4] Ibid,
hal 13
[5] Ibid,
hal. 49
[6]
Jalaludin dan Abdulloh, “Filsafat Pendidikan”, (Jakarta: Gaya Media
Pratama, 1997), hal. 107
[7] Ibid.
107
[8] Mohammad
Noor Syam, “Filsafat Pendidikan dan Dasar Filsafat Pendidikan Pancasila”,
(Surabaya: Usaha Nasional, 1988 cet.4), hal. 163
[9]
Jalaludin dan Abdulloh, “Filsafat Pendidikan”, (Jakarta: Gaya Media
Pratama, 1997) hal. 107
[10]
Mohammad Noor Syam, “Filsafat Pendidikan dan Dasar Filsafat Pendidikan
Pancasila”, (Surabaya: Usaha Nasional, 1988 cet.4), hal. 164
[11]
Jalaludin dan Abdulloh, “Filsafat Pendidikan”, (Jakarta: Gaya Media
Pratama, 1997) hal. 108
[12]
Mohammad Noor Syam, “Filsafat Pendidikan dan Dasar Filsafat Pendidikan Pancasila”,
(Surabaya: Usaha Nasional, 1988 cet.4), hal. 165
[13] Ibid.
hal. 166
[14]
Jalaludin dan Abdulloh, “Filsafat Pendidikan”, (Jakarta: Gaya Media
Pratama, 1997) hal. 108
[15]
Mohammad Noor Syam, “Filsafat Pendidikan dan Dasar Filsafat Pendidikan
Pancasila”, (Surabaya: Usaha Nasional, 1988 cet.4), hal. 170
[16] Ibid.
hal. 175
[17] Ibid.
hal. 175-176
[18] Ibid.
hal. 158-160
[19] Suparlan Suhartono, “Filsafat
Pendidikan”, (Yogyakarta: Ar-ruzz Media, 2007), hal. 61-62
[20] Ibid,
hal. 62
[21] Ahmad
Janan Asifudin, “Mengungkit Pilar-pilar Pendidikan Islam (Tinjauann
Filosofis)”, (Yogyakarta: Suka Press, 2009), hal. 49-50
[22]
Pengertian dari Ibu Susilaningsih, Dosen Pengampu Mata Kuliah Psikologi Belajar
UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
[23] Hamdani
Ihsan dan Fuad Ihsan, “Filsafat Pendidikan Islam”, (Bandung: Pustaka
setia, 2007), hal. 59
[24] Suparlan Suhartono, “Filsafat
Pendidikan”, (Yogyakarta: Ar-ruzz Media, 2007), hal. 62
[25] Ibid,
hal. 56
[26]
Mohammad Noor Syam, “Filsafat Pendidikan dan Dasar Filsafat Pendidikan
Pancasila”, (Surabaya: Usaha Nasional, 1988 cet.4), hal. 160-161
[27] Ibid,
hal. 179